Kutolehkan wajahku kearah pagar. Dikejauhan nampak mantan kekasihku alias Abi Mbak Nadia sedang berjalan. Nampak siluet perawakan tambunnya, dengan songkok hitam. Dan ia sedang bercakap-cakap dengan seseorang. Segera kumasuk dalam rumah Ummi.
Deg! Abuyaku tengah duduk. Wajahnya masih nampak sisa-sisa merah padamnya. Wah, tadi kebakaran ya, kok wajah Ayahku ini masih berasap.
Belum kududuk, Ummiku menyambut dengan cerita serunya bagaimana Abi mencari-cari Mbak Nadia. Ia marah besar dan mengutuk aku yang mengajari anak kami berbohong. Maka jadilah Nadia anak yang tidak bisa diatur dan ahli bohong sepertiku.
Wow.... gelar yang cukup deg! Sewaktu mendengar, kusikapi biasa saja sampai Ummiku selesai bercerita. Tapi hatiku sedang bercakap-cakap pada Allah. "Ya Allah, hamba tiada punya kuasa selagi hamba tunduk pada hawa nafsu. Hamba berlindung dari tipu daya syetan dan nafsu apapun bentuknya. Hamba berlindung dari liciknya hawa nafsuku bila mengajak undang murkaMu. Berbohong, marah, apalagi hilang rasa kasih - yang meluap-luap untuk membalas tuduhan ini".
Aduh, gampang memang hampir semua orang mudah menuduh, menghakimi, memvonis tanpa tahu dulu duduk permasalahannya.
Tidak ada persoalan apapun sebenarnya. Kecuali putri tertua kami - Mbak Nadia - datang di Malang tidak memberitahukan padanya, sebagai Abi. Padahal beberapa minggu yang lalu, Abi mengirimkan sepeda motor ke Gresik - tempat Mbak Nadia mengabdikan diri - tugas akhir dari PP AL Amien.
Karena sesuatu hal, Mbak Nadia dan kawannya mengadukan padaku permasalahan yang sedang dihadapi di tempat pengabdian. Nah, kusarankan keduanya untuk menyampaikan hal ini pada PP Al Amien - tempat nyantrinya. Nah, keputusan dari PP Al Amien, keduanya ditarik dari Gresik. Mbak Nadia ditempatkan di Malang. Sedang kawannya di Madura.
Lalu kenapa Abi marah???
Beliau merasa tidak dimuliakan sebagai orang tua. Tidak diberitahu kepindahan Mbak Nadia. Oupsss...krisis percaya diri atau memang ada menyampaikan informasi kedatangan putri kami - tapi dengan format yang berbeda. Sehingga menghasilkan reaksi Abi yang berbeda. Sssstt..padahal Abi tuh sebenarnya cakep, ilang deh cakepnya bila pake teriak-teriak
"Sepeda motor akan saya ambil lagi. Anak tidak bisa diatur. Tukang bohong. Saya ini membuat pesatren putri untuk dia pegang, lha kok dia gak bisa diatur. Ya sudah, jika semua anak tidak bisa diatur, saya tidak akan mau membiayai... bla bla bla",Ummiku menirukan bagaimana rentetan amuk luap emosi Abi.
"Ya sudah, gak mau mbiayai anakmu, monggo..itu hak-hakmu... Tidak apa-apa. Aku gak ngiba-ngiba padamu...,"kujawab gitu, kata Abuya.
Sekali lagi aku hanya diam. Datar. Abuya menasihati untuk berbuat segala sesuatu tidak lagi menutup-nutupi apapun. Termasuk hal-hal kecil. Aku diam.
Mbak Nadia yang biasanya easy going alias kelebihan dosis cueknya, kali ini lembayung banget.
Diam.
Duduk terpaku didepan komputer, utak atik, tapi tetep dengan diam. Aku tak mampu melihatnya begitu. Kelembutan hati seorang ibu kembali mengusikku, air mataku meleleh deras.

Aku sangat kasihan padanya. Karena ia dalam keadaan butuh dukungan menjelang SMPTN, masa pengabdian yang harus dijalani, belajar mandiri soal-soal SMPTN, membantu tugas harian, dan mempersiapkan hari pernikahan bulan Mei ini insya Allah.
Masalah dengan Abi sampai hari ini memang sangat berlarut-larut. Aku tak tahu cara tepat menyikapinya. Ketika Mbak Nadia menerima lamaran, intimidasi dijalankan Abinya. Beliau tak lelah nelpon sana-sini, mengumpulkan simpatisan mulai dari Ibuku, Bu Dheku, adikku, dan orang-orang yang terkait denganku untuk tidak setuju dengan pernikahan Mbak Nadia. Uhuuu... seru ketika itu.
Tapi anehnya, sangat manis sekali ketika kami dan keluarga calon mantu datang kepesantrennya. Malah ikut ke Madura untuk membalas kunjungan ke calon besan.
Tapi tetap main ancam, tekan, dan yang sebaliknya pada Mbak Nadia untuk tidak meneruskan langkah dengan calon suami. Alasan suku maduralah, ekonomi rendah lah, sama-sama anak pertama lah, dan alasan tidak masuk akal apalagi kami sama-sama keluarga pesantren yang nota bene lebih paham bahwa ketaqwaan justru lebih utama daripada yang lain dalam memilih jodoh. Nah!
Aku cuma diam. Tidak perlu reaktif.
Kupeluk putriku,"Ummah, sayang kamu Nak..". Airmatanya menetes perlahan. Kuelus kepala gadisku, sama seperti ketika kumengelusnya 17tahun yang lalu. Kubesarkan 3 anak sendiri ketika sang Abi meninggalkan kami semua ketika itu.
Tak pernah henti Abi mendiskreditkan apapun yang bersumber ide dariku. Seakan ajakan dariku untuk bermusuhan.
Subhanallah... Allah itu luarbiasa ya... Ia memberikan hamparan hikmah untuk mengais kearifan. Ketika belajar tulus, terlemparlah batu kekejian menghujam diri. Ketika belajar bertaubat, duri-duri syetan bernama gara-gara menusuk hati. Ketika belajar mengampuni dalam ikhlasnya memaafkan, justru semakin menggila bara api murka dinyalakan baranya.
"Nak... Mari keluar dari kungkungan hidup karena ketidakmauan kita menerima kenyataan apa adanya. Mari berpikir sederhana. Jangan terjebak persepsi. Temukan kesejukan pikiran, gali ketentraman perasaan, sentuh jiwa yang tenang, hanya kembalikan semua masalah ini pada Allah yang telah mengizinkan masalah ini terjadi. Yakinlah Nak, tidak ada yang mustahil bagi Allah.
Masalah apapun boleh ada. Tapi tautkan hati dan kesadaranmu utuh pada Allah. Sebut namaNya. Abi tetap Abimu, orang yang pernah bersama Ummah, orang yang pernah Ummah kasihi, bukan masalah kenapa Abi seperti itu, tetapi kita harus kasihan betapa tersiksanya Abi dengan cara berpikir dan bersikap yang bertolak belakang... Berdoa banyak ya Nak.. Yang menjalankan kehidupan kelak adalah kamu. Bukan Ummah atau Abi. Hargai pikiran Abi, tetapi bukan berarti menuruti hal-hal yang irasional apalagi jauh dari rasa bertuhan...".
"Iya Mah...",katanya sambil tersenyum. Dan tak begitu lama, ia mengajakku membuka laptopku. Aku diajaknya berseru menyusun jadwal liburan adik-adiknya. Masya Allah... benarlah... rasa tenang adalah muara bahagia. Tenang bisa didapat dengan sentiasa terus menerus menautkan hati pada Allah.
