"Maah, aku mau buat es buah, nanti sore.."
"Maah, aku mau buat es jelly sekalian supnya mau kubelikan bakso ya...",
Suara celoteh sulung dan bungsuku berencana menyiapkan santap sore buka kami bertiga. Aku mendengarkan permintaan mereka sambil tersenyum. Kuajak mereka menghabiskan qur'annya selepas dhuhur siang terik itu.
Ketika habis ashar, kembali si sulung gelisah. "Mah..Nadia mau masak ya..".
Heran...
Kenapa sibuk urusan dapur begitu gelisah, sedang target ibadah bila belum sempurna tak pernah gopoh hati ini.
Kuajak duduk dua gadisku ini. Kuajak bincang tentang makna puasa.
Puasa ada tingkatan tertentu, dan tingkatan tersebut hanya diri kita sendirilah yang bisa mengukurnya. Tingkatan tersebut antara lain puasa umum, puasa khusus, dan puasa khusus yang dikhususkan.
Puasa dhohiriah,yaitu dengan menahan lapar, dahaga, juga menahan diri dari mengikuti hawa nafsu.
Puasa khusus adalah menahan pendengaran, pendangan, lisan, tangan, kaki dan seluruh anggota badan kita untuk tidak mengerjakan kemaksiatan. Misalnya menahan telinga kita untuk tidak mendengarkan kebohongan, atau menahan pandangan mata kita untuk tidak melihat hal-hal yang mendorong diri kita untuk berbuat kemaksiatan, serta menahan lisan kita untuk tidak berkata bohong pada orang lain. Berapa banyak kebohongan yang kita lakukan tanpa kita sadari baik itu bohong yang bersifat sepele maupun besar. Dan sebagainya.
Puasa khusus yang dikhususkan adalah puasa hati, yaitu puasa hati dari memperturutkan diri untuk memikirkan hal-hal duniawi, menahan diri dari untuk tetap istiqomah hanya memikirkan Allah dan selalu mengingatnya, jika mendapatkan kenikmatan maka tidak pernah lupa untuk selalu bersyukur dan jika mendapatkan musibah tidak pernah mengeluh, selain hanya berkata "sesungguhnya kita adalah kepunyaan Allah dan kepada-Nya kita akan kembali". Inilah derajat tertinggi dari puasa. Kembali pada diri kita sendirilah yang bisa mengukur sampai di derajat manakah puasa yang selama ini kita jalankan.
Keduanya manggut-manggut tersenyum.
"Nah, sekarang terserah kalian, berani berbuka tanpa terputus ingatan pada Allah dengan yang sekedarnya tanpa meninggalkan kesunnahan, atau berbuka atas sekehendak kemauan ?"
Nadia tersenyum,"Ya Mah...".
"Teruskan dzikirnya, turunlah hanya untuk yang penting. Jam 16.30 cukup kan untuk masak sekedarnya, Nak?"
Akhirnya, saat itu ta'jil dengan teh manis dan kue, shalat maghrib berjamaah, shalat sunnah2, mengaji sebentar barulah kami menikmati makan sekedarnya sebelum menunaikan ISya' juga tarawih.
Lezaattt!!! Ternyata benar-benar dari persepsi dan bisa dikendalikan. Bukan dari resep ke resep apalagi warung ke warung. Lezattt, bila lidah merasakan makanan - yang darinya timbul rasa bertuhan.
Lezaattt!!! Bertambah ibadah bila bahan bakarnya makanan halal sekedarnya (secukupnya).
Lezaattt!!! Bila mampu mengendalikan nafsu lidah, nafsu merontanya keinginan.
Lezaatt!!! Bila terasah syukur bukan alhamdulillah jika ada makanan enak, tapi alhamdulillah atas dalamnya maknawi tersembunyi di dalam sebarang makanan.
Lezaatkanlah lidah kami ya Allah dengan mengingatiMu selalu walau berhadapan dengan makanan yang menggoda!
